Minggu, 29 Maret 2009

Etika kerja di tempat baru


Masalah Internal
Menjadi karyawan baru atau pegawai baru kerapkali tidak mudah. Sudah mencari pekerjaannya setengah mati susahnya, soal adaptasi dengan lingkungan baru pun kerap menjadi masalah tersendiri. Keadaan semacam inilah yang kerap membuat para karyawan baru harus menelan pengalaman pahit. Mereka akhirnya mengambil keputusan untuk berhenti dengan alasan tidak tahan atau terpaksa. Buntut-buntutnya cari pekerjaan lagi.
Kalau melihat praktek sehari-hari, rupanya kejadian demikian tidak hanya menimpa orang yang baru pertama kali kerja. Orang yang sudah punya pengalaman kerja sekali pun sering terhambat oleh soal adaptasi ini. Intinya, menjadi karyawan baru atau menjadi orang baru di tempat yang sama sekali baru itu tidak bisa dibilang mudah seratus persen. Ada sejumlah kesulitan, yang kalau tidak ditangani secara bijak, dapat membuat rencana kita gagal atau terbengkalai di tengah jalan.Dari praktek di lapangan, munculnya kesulitan itu bisa bersumber dari dalam diri kita dan juga ada yang bersumber dari atasan, pimpinan atau manajemen. Apa saja yang bersumber dari diri kita? Ini juga tidak bisa didetailkan satu persatu di sini. Sekedar untuk sebagai acuan, saya ingin memakai laporan sebuah studi. Meski ini didasarkan pada angkatan kerja di Amerika, tetapi rasanya tidak ada ruginya juga kalau kita menjadikannya sebagai semacam pedoman untuk memperbaiki diri. Dalam laporan berjudul "Are They Really Ready To Work" (The Conference Board, Inc: 2006), ada beberapa poin penting yang bisa dicatat.
1. Skill atau kompetensi.
Skill atau kompetensi adalah sesuatu yang membuat kita mampu mengerjakan pekerjaan. Motivasi adalah sesuatu yang membuat kita mau mengerjakan pekerjaan. Sedangkan sikap adalah sesuatu yang akan menentukan sebagus apa pekerjaan itu akan kita kerjakan. Kalau skill kita defisit menurut ukuran tuntutan pekerjaan (workforce) di tempat yang baru itu, ya mau tidak mau memang ini masalah dari kita dan buat kita. Jika kita kebetulan masuk di perusahaan yang memiliki unit atau badan EAP (Employee Assistance Program), dan lain-lain, kita bisa memanfaatkan sarana tersebut untuk meng-up grade skills atau kemampuan kita. Kalau tidak tersedia., kita yang harus inisiatif dan kreatif menambah ketrampilan dan kemampuan dengan sarana dan situasi yang ada. Itu pun sudah menjadi ujian dari kemampuan kita to struggle beyond our own laziness and inner obstacle
2. Profesionalisme dan etika kerja.
Profesionalkah kita? Ada pendapat yang menyatakan bahwa orang akan disebut profesional kalau yang bersangkutan berpedoman pada nilai-nilai dan etika kerja atau profesi yang disandangnya seperti orang memedomani / mengimani ajaran agamanya dalam arti berpegang teguh. Ini misalnya saja komitmen terhadap tugas, punya disiplin kerja, punya semangat dedikasi yang tinggi, mentaati etika, kode etik atau kesopanan, dan seterusnya..
3. Komunikasi (lisan & tulisan).
Kekurangan dalam hal kemampuan berkomunikasi, baik lisan dan tulisan, inipun ikut mempersulit posisi kita di tempat yang baru. Untuk yang baru lulus dari sekolah, biasanya masih belum terlatih menggunakan bahasa-bahasa yang pas untuk orang yang pas di tempat kerja. Ini bisa terjadi dari mulai yang kecil, misalnya memanggil orang, menyatakan pendapat, menjawab telepon yang masuk, dan lain-lain. Bagi yang sudah pernah kerja di tempat lain, kita pun perlu berhati-hati di tempat baru ini. Kenapa? Bahasa yang kita ucapkan itu tidak selamanya diartikan sama oleh orang yang berbeda di tempat yang berbeda.
4. Kerjasama atau tim
Kerjasama kelompok atau teamwork adalah kemampuan seseorang dalam bekerja sama dengan orang lain atau menjadi bagian dari suatu kelompok dalam melaksanakan suatu tugas. Sedikit-sedikit mendebat, tidak mau dipimpin dan tidak siap memimpin, kurang menyadari tanggung jawab tim, ingin mencari muka sendiri, kurang mandiri atau kurang berkonsultasi, tidak mau mendengarkan masukan, gampang tersinggung, terlalu sensitif, suka menggembosi orang lain, dan lain-lain, kerap menjadi masalah yang serius untuk orang baru. Karena itu, ini perlu dihindari.
5. Berpikir kritis dan kemampuan problem solving
Berpikir kritis, berpikir analitis, atau berpikir logis adalah kemampuan seseorang dalam memahami situasi dengan cara menguraikan masalah menjadi bagian-bagian yang lebih rinci (faktor-faktor; penyebab masalah), atau mengamati akibat suatu tindakan / keadaan tahap demi tahap berdasarkan pengetahuan, pengalaman dan semangat (spirit). Sebetulnya, semua level jabatan membutuhkan kemampuan ini meski bentuknya berbeda-beda. Ini misalnya saja: teliti, keputusan yang logis, opini yang aktual dan faktual, memiliki informasi yang relevan dengan pekerjaan, bisa melihat masalah atau bagiannya sebagai sesuatu yang bisa dihadapi dengan tindakan-tindakan yang logis, mengetahui sumber-sumber bahaya (the danger), dan lain-lain.
Itu semua adalah point yang berpotensi menyulitkan posisi kita apabila tidak kita perhatikan dengan bagus.
Masalah Eksternal
Tak hanya masalah-masalah di atas yang mempersulit posisi kita di tempat yang baru. Ada masalah lain yang juga ikut mempersulit. Sebut saja ini masalah eksternal. Inipun tidak bisa kita detailkan satu persatu. Secara umum, masalah eksternal yang dihadapi orang baru itu adalah masalah person. The person di sini, bisa atasan, bawahan atau kolega. Ini yang pertama. Meminjam istilah yang dipakai para ahli di bidang karir, person yang bisa mempersulit kita itu disebut "the difficult people". Seperti apa orang yang sulit itu? Menurut kolomnis The CEO Refresher, Paul B. Thornton (2002), ciri-ciri utama orang sulit itu adalah:
1. The Aggressor: memaksakan kehendak, menggunakan bahasa yang kasar, otoriter, main pecat, dan semisalnya
2. The Victim: selalu menyalahkan orang lain, selalu ngomel karena merasa dirugikan orang lain, selalu menuding karyawan sebagai faktor kerugian, dan seterusnya.
3. The Rescuer: selalu ingin ikut campur, terlalu takut dibenci orang dan terlalu ingin dipuji orang, dan semisalnya.
Selain person, terkadang miliu dan budaya juga ikut mempersulit posisi kita. Miliu kerja adalah apa yang kita rasakan di tempat kerja. Secara rasa, pasti berbeda antara tempat kerja yang sudah dipenuhi permusahan dengan tempat kerja yang dipenuhi keharmonisan atau kekeluargaan. Pasti ada perbedaan antara miliu kerja yang sehat dengan yang sakit. Lingkungan yang "bersih" dan "kotor"; ada perusahaan yang consumer-oriented ada yang tak peduli sama sekali; ada yang disiplin dan tertib tetapi ada juga yang kendor dan tak beraturanArtinya, baik miliu atau budaya yang tidak pas dengan hati kita terkadang juga menjadi masalah. Karena itu, tidak sedikit dari kita yang memilih untuk hengkang saat menghadapi miliu yang tidak klop atau budaya yang tidak pas Bagaimana menghadapinya?Seperti yang sudah kita bahas sebelumnya, ketika kita menghadapi persoalan di tempat kerja, pilihan yang tersedia di situ mungkin hanya dua. Pertama, kita hengkang ke tempat lain yang lebih bagus (Push out but better off). Ketika pilihan ini yang dipilih, berarti pembahasannya selesai. Kedua, kita tetap akan masuk di pekerjaan itu dan mengembangkan jurus-jurus baru di dalamnya (Staying on but building option). Mungkin ada yang bertanya, jurus-jurus apa yang perlu diambil jika saya tetap memilih opisi kedua? Untuk menjawab ini pasti tidak ada buku panduannya. Di bawah ini ada beberapa yang mungkin bisa kita jadikan acauan:
1. Fokuskan pada pengembangan diri
Dua agenda penting dalam pengembangan diri di sini adalah: a) memiliki program pengembangan sendiri, entah itu skill kerja atau mental yang terencana dengan bagus sesuai keadaan kita, dan b) menjadi fasilitator atas apa yang ditugaskan kepada kita. Menjadi fasilitator artinya kita menerima apapun yang ditugaskan kepada kita sebagai sarana belajar. Jangan mengerjakan sesuatu hanya karena disuruh semata. Ini beban buat kita dan terkadang mencerminkan kesan yang kurang bagus. Apalagi jika itu kita barengi dengan menuntut hak-hak sebelum kewajiban. Mengacu pada penjelasan di muka, kita bisa menjadikan tugas itu sebagai latihan berpikir kritis, latihan meningkatkan skill atau competency, dan lain-lain.
2. Fokuskan pada pembuktian
Sebagai orang baru, mungkin pesan Jet Li ini perlu diingat. Pertama, ketuklah pintu. Kedua, buatlah orang lain tahu bahwa Anda datang. Ketiga, buktikan siapa dirimu. Jika Anda sudah berhasil membuktikan diri, maka Anda tidak kesulitan mengontrol orang dan keadaan. Minimalnya, ketika kita sudah berhasil membuktikan diri secara bertahap, maka kita tidak gagap, tidak takut, tidak minder atau diliputi perasaan yang tidak-tidak tanpa alasan yang jelas.
Sebagai orang baru, kerapkali banyak penilaian yang bermacam-macam pada kita. Ada yang minor, underestimate, kurang ini, kurang itu, dan lain-lain. Satu sisi ini perlu kita pahami sebagai kewajaran. Namun begitu, jika kita pada akhirnya sanggup membuktikan diri, opini orang sekitar yang bermacam-macam pada kita akan kalah oleh realitas yang kita buktikan. Inilah salah satu esensi profesionalitas. Terkadang lebih bagus kita dinilai lima tetapi sanggup membuktikan sampai tujuh ketimbang kita dinilai tujuh tetapi hanya sanggup sampai lima.
3. Pelajari cara hidup
Cara hidup di sini termasuk bahasa-hidup, kebiasaan, dan budaya yang berlaku di tempat baru. Untuk bisa mempelajari ini memang terkadang menuntut agar kita ikut lebih dulu. Kalau bicara resiko sosial, bebannya akan lebih ringan kalau kita lebih dulu mengikuti cara hidup orang lama ketimbang kita langsung memberontak. Tentu ini untuk beberapa hal yang sifatnya bukan pelanggaran. Agar kita bisa ikut dan belajar, yang diperlukan di sini adalah kemampuan untuk mendengarkan, mengobservasi, melihat, menanyakan dan mempertanyakan serta memahami. Hindari upaya-upaya untuk menonjolkan diri sendiri secara mencolok atau ekstrim, apalagi membual terlalu jauh. Jadikan ini sebagai sarana untuk memperbaiki kemampuan berkomunikasi.
4. Hindari keberpihakan "gang"
Biar di tempat kerja pun ada politik, seperti di Senayan. Namanya sering disebut office politic (OP). OP ini adalah cara informal atau cara yang halus untuk mendapatkan kekuasaan, baik itu formal (authority) atau non-formal (power). Dalam prakteknya, OP ini kerap menimbulkan konflik antar-gang di tempat kerja. Sebagai orang baru, akan lebih safe kalau kita menghindari keberpihakan pada gang tertentu secara fanatik. Akan lebih bagus kalau kita bermain netral yang bijak dan asertif. Bijak di sini artinya punya kemampuan mengakomodasi dua hal yang kontras dan memberikan respon yang proper (tepat) dan proporsional. Asertif artinya kita tetap menjadi asli tetapi juga bisa beradaptasi dengan cara yang bagus (polite but firm). Ini juga termasuk latihan berkomunikasi (dealing with others).
5. Membangun mentalitas baja
Jurus ini kerap berhasil digunakan menghadapi atasan yang kita sebut difficult people di atas pada saat belum punya alternatif lain. Tentu ini tidak untuk semua jenis dan tipe. Sebut saja di sini misalnya kita punya atasan yang "tidak mudah puas". Jika itu kita terima dengan pemahaman yang dangkal tentang diri si atasan itu, akan mempersulit hidup kita sendiri atau memperberat beban batin kita. Akan mungkin berbeda masalahnya seandainya kita mampu melihat atasan kita dengan angle atau sudut pemahaman yang berbeda.
Bermental baja รข€“ bukan berarti ndablek, tidak mempan perubahan dan tidak punya perasaan. Untuk punya mental baja, justru kita perlu punya pemikiran luas, pengertian bijak dan pandangan yang obyektif dalam menilai sebuah kejadian, misal ketika dimarahi, dikasih tugas yang berat, ditegur, dikritik, dsb. Kita tidak menilai atasan atau kolega dari sikap / reaksi emosi / perilaku mereka. Selama kita terpancing oleh hal-hal yang ada dipermukaan / yang terlihat / pada kasusnya semata, pada perilakunya semata, sebenarnya asumsi kita didasari oleh pemahaman yang sangat dangkal tentang orang itu atau situasi yang muncul. Itu yang membuat kita akhirnya lebih focus ke sakit hati-nya dari pada melihat hikmah atau pelajarannya.
sumber:http://suroto.blogspot.com/2008/09/bekal-untuk-karyawan-baru-masalah.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar